“Kalau tidak ada bukti, itu hanya rumor.”
Pernyataan ini dilontarkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara bersama pemimpin redaksi ID and Times, Huni Lubis, yang tayang pada 11 Juni 2025. Ia menyebut pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 sebagai rumor, karena tidak adanya bukti kuat dan tidak tercatat dalam buku sejarah resmi.
Namun, benarkah demikian? Atau justru ini bentuk pengingkaran terhadap luka kolektif bangsa?
27 Tahun Berlalu, Luka Belum Tertutup
Tragedi Mei 1998 bukan hanya soal kerusuhan dan pembakaran, melainkan juga tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa. Sejumlah kesaksian memilukan mencuat setelah peristiwa itu, meski tak sedikit pula yang menutup diri karena trauma mendalam.
Tempo, salah satu media yang paling gigih menyuarakan isu ini, melakukan investigasi panjang. Pada edisi Oktober 1998 dan Mei 2003, mereka menampilkan kisah-kisah nyata dari korban dan para pendamping.
Salah satunya adalah kisah "Mona", seorang gadis muda yang didampingi oleh seorang ibu rumah tangga bernama Fanny Gunadi. Mona mengalami pemerkosaan oleh lima pria dalam rumahnya sendiri. Trauma mendalam membuatnya menolak berbicara dan menutupi dirinya dengan kain sprei—yang ternyata adalah saksi bisu dari kebiadaban yang dialaminya.
Dari Jakarta Hingga Amerika: Kisah Para Korban
Tak hanya Mona, ada juga "Tini", gadis 15 tahun dari Kapuk yang diperkosa oleh lima pria hingga akhirnya harus melakukan aborsi. "Mailing", seorang ibu dua anak yang diperkosa di tengah jalan dan mengalami trauma berat hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Dan "Dini", perempuan Tionghoa yang diculik dan diperkosa oleh tiga pria berambut cepak di dalam taksi.
Kesaksian-kesaksian ini bukan karangan. Mereka terdokumentasi dalam laporan resmi, wawancara langsung, dan data dari organisasi kemanusiaan.
Ketika Bukti Tak Cukup untuk Keyakinan
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dipimpin oleh Romo Sandyawan Sumardi, mencatat sedikitnya 168 korban kekerasan seksual hingga Juli 1998. Namun, laporan ini menuai perdebatan. Polisi menyatakan tidak ada bukti konkret, dan hasil investigasi dianggap nihil.
Padahal, seperti dijelaskan oleh para psikolog dan aktivis, korban kekerasan seksual seringkali menolak bersaksi karena trauma dan rasa malu, apalagi di tengah stigma sosial. Bahkan banyak yang langsung dikirim keluar negeri oleh keluarganya untuk menghindari tekanan publik dan media.
Antara Trauma, Politik, dan Sejarah yang Diabaikan
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah akhirnya merilis angka resmi: 146 korban kekerasan seksual. Namun bahkan angka ini pun dipertanyakan sebagian pihak. Ada yang menyebut korban "nyata" hanya sekitar 20 orang, sisanya mengalami kekerasan non-penetratif.
Definisi pemerkosaan, menurut beberapa ahli forensik saat itu, terlalu sempit. Beberapa korban mengalami kekerasan brutal seperti dimasukkan benda tumpul ke alat vital, namun karena tidak ditemukan "bukti sperma", mereka dianggap bukan korban pemerkosaan.
Dunia Internasional Turun Tangan
Tak hanya di Indonesia, demonstrasi internasional pun menggema. Kantor-kantor kedutaan Indonesia di berbagai negara didemo. Human Rights Watch dan aktivis internasional menuntut investigasi transparan.
Namun semuanya kembali pada pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar mendengarkan para korban?
Fadli Zon dan Luka Lama yang Terbuka Kembali
Pernyataan Fadli Zon pada 2025 ini kembali membuka luka yang belum sembuh. Ia menyebut bahwa "Tempo sendiri sulit membuktikan pemerkosaan massal." Namun Tempo membalas dengan mengingatkan kembali laporan mereka—dan semua kisah di baliknya.
Pertanyaannya, apakah kurangnya bukti berarti tidak terjadi? Atau ini hanya tanda bahwa negara tidak pernah serius menangani kasus ini secara adil dan manusiawi?
Mengapa Kita Harus Terus Bicara?
Tragedi pemerkosaan Mei 1998 bukan hanya bagian dari sejarah kelam, tapi juga refleksi tentang bagaimana kita memandang keadilan, perempuan, dan kebenaran.
Mengungkap dan mengakui kisah para korban adalah langkah awal untuk penyembuhan kolektif. Menyebutnya "rumor" bukan hanya menyakiti korban, tapi juga menghapus perjuangan banyak orang yang telah berusaha bersuara di tengah ketakutan.
Akhir Kata: Fakta atau Rumor, Mana yang Anda Percaya?
Apakah Anda setuju dengan Fadli Zon bahwa ini hanyalah rumor?
Atau Anda percaya bahwa ini adalah bagian dari luka sejarah yang harus diakui dan disembuhkan?
Silakan tulis pendapat Anda di kolom komentar.
Diskusi terbuka dengan empati adalah bagian dari demokrasi.