BERITA TERKINI, DUNIA DALAM BERITA, SEPUTAR INFORMASI TERPECAYA

Sunday, 26 January 2025

Kisah Nyata Ketika Cinta Ibu Melewati Batas: Sebuah Cerita tentang Pengampunan dan Perubahan

 

GAMBAR ILUSTRASI

Bayang-bayang di Antara Kita


Bab 1: Awal dari Luka

Feri menatap langit biru dari jendela kecil rumahnya yang sederhana di Sukabumi. Angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah. Tapi pikirannya bukan tentang keindahan sore itu, melainkan kenangan pahit yang tak kunjung hilang. Sejak ayahnya meninggal, hidup Feri berubah drastis. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga, namun hubungan dengan ibunya, Bu Dombret, menjadi semakin rumit.

"Feri, bantu ibu angkat galon ini ke dapur," suara Bu Dombret memecah lamunannya. Dengan enggan, Feri bangkit dan membantu ibunya. Tatapan mata ibunya kadang terasa terlalu intens bagi Feri, seperti menyimpan sesuatu yang sulit ia pahami.

Bu Dombret, seorang wanita yang dulunya ceria, berubah sejak kematian suaminya. Ia sering termenung, berbicara pada foto almarhum suaminya, dan memandang Feri dengan cara yang membuat anaknya tidak nyaman. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang melebihi batas hubungan ibu dan anak.

Bab 2: Dorongan yang Tak Terjawab

Malam itu, setelah semua adik-adiknya tertidur, Bu Dombret mendatangi kamar Feri. Ia duduk di tepi ranjang anaknya, mengusap rambutnya dengan lembut.

"Kamu tahu, Fer, kamu mirip sekali dengan ayahmu," bisiknya, suaranya bergetar.

Feri hanya terdiam, menahan napas. Ia tahu ibunya merindukan sosok suaminya, tapi perasaan yang ia rasakan malam itu terlalu berat untuk dijelaskan.

"Ibu kadang tidak tahu harus bagaimana. Semua ini terlalu berat," lanjut Bu Dombret.

Feri memegang tangan ibunya, mencoba memberikan ketenangan. Namun, dalam hati ia merasa ada sesuatu yang salah. Malam itu adalah awal dari serangkaian peristiwa yang membuat hubungan mereka semakin rumit.

Bab 3: Pelarian ke Jakarta

Tidak tahan dengan tekanan dan situasi di rumah, Feri memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ia berharap jarak akan menjadi solusi atas kekacauan dalam hidupnya. Di Jakarta, ia bekerja sebagai pengemudi ojek online dan mencoba membangun hidup baru.

"Bu, saya mau cari kerja di Jakarta. Saya ingin mandiri," katanya suatu pagi. Bu Dombret tidak banyak bicara, hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Selama dua bulan di Jakarta, Feri merasa lebih tenang. Ia menyewa kamar kecil di pinggiran kota dan mulai menabung untuk masa depannya. Namun, bayang-bayang masa lalunya tidak sepenuhnya hilang. Setiap malam, ia masih bermimpi tentang rumahnya, tentang ibunya.

Bab 4: Konfrontasi

Suatu hari, Bu Dombret datang ke Jakarta tanpa pemberitahuan. Ia ingin bertemu Feri, mengatakan sesuatu yang sudah lama ia pendam. Mereka duduk di sebuah warung kecil, minum teh hangat sambil menghindari tatapan satu sama lain.

"Feri, ibu minta maaf. Ibu sadar, apa yang terjadi di rumah itu salah," kata Bu Dombret dengan suara bergetar.

Feri menunduk, menggenggam cangkir teh di tangannya dengan erat. "Ibu, saya cuma ingin kita kembali seperti dulu. Saya rindu ayah, rindu keluarga yang normal," jawabnya pelan.

"Ibu juga rindu semuanya. Tapi ibu terlalu lemah untuk menghadapi semua ini sendirian," ujar Bu Dombret sambil menangis.

Bab 5: Langkah Baru

Percakapan itu menjadi titik balik bagi mereka. Feri memutuskan untuk memaafkan ibunya, meskipun luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Mereka berdua sepakat untuk mencari bantuan profesional, seperti konselor keluarga, untuk memperbaiki hubungan mereka dan memulai lembaran baru.

Bu Dombret mulai aktif di komunitas perempuan di kampungnya, mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal positif. Sementara itu, Feri bekerja keras di Jakarta, menabung untuk membuka usaha kecil. Ia juga mulai membuka hati untuk orang lain, berharap suatu hari ia bisa membangun keluarganya sendiri tanpa bayang-bayang masa lalu.

"Bu, saya akan pulang Lebaran nanti," kata Feri dalam teleponnya suatu malam.

"Ibu tunggu kamu di rumah, Nak. Kita mulai lagi semuanya, ya," jawab Bu Dombret dengan suara yang lebih tenang.

Bab 6: Membangun Kembali Harapan

Lebaran tiba, Feri pulang ke kampung halamannya. Rumah sederhana itu kini terasa berbeda. Bu Dombret menyambutnya dengan senyum hangat, meskipun ada jejak rasa bersalah di matanya. Mereka saling berpelukan, mencoba menghapus jarak yang pernah ada di antara mereka.

Setelah salat Id, Feri berbicara dengan ibunya di beranda rumah. "Bu, saya ingin membuka usaha di sini. Saya ingin tinggal dekat ibu, tapi saya juga butuh ruang untuk hidup saya sendiri."

Bu Dombret mengangguk pelan. "Ibu mengerti, Nak. Ibu hanya ingin kamu bahagia."

Dengan bantuan tabungannya, Feri membuka warung kecil di kampungnya, menjual kebutuhan sehari-hari. Usahanya perlahan berkembang, dan ia mulai dikenal sebagai sosok pekerja keras di kampungnya. Hubungan dengan ibunya juga membaik. Mereka belajar berbicara lebih jujur satu sama lain, mengungkapkan perasaan tanpa menyakiti.

Bab 7: Masa Depan yang Cerah

Beberapa tahun kemudian, Feri menikah dengan seorang perempuan yang ia temui di komunitas kampung. Pernikahan itu menjadi awal baru bagi Feri, sebuah kesempatan untuk membangun keluarga yang sehat dan penuh cinta.

Bu Dombret, yang kini lebih banyak tersenyum, membantu merawat cucu-cucunya. Ia merasa hidupnya kembali berarti, bukan lagi dihantui oleh bayang-bayang masa lalu.

Hidup mereka tidak sempurna, tapi mereka menemukan cara untuk berjalan maju. Luka lama mungkin tetap ada, tapi harapan dan cinta menjadi pondasi baru yang menguatkan mereka.

"Hidup memang tidak mudah, Bu," kata Feri suatu sore. "Tapi kita sudah membuktikan, kita bisa melaluinya."

Bu Dombret tersenyum, menatap anaknya dengan bangga. "Kamu anak yang kuat, Feri. Ibu bersyukur punya kamu."

Dan dengan itu, mereka melanjutkan hidup, melangkah bersama menuju masa depan yang lebih cerah.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive